Rupiah Melemah, Daya Beli Tertekan: Krisis Ekonomi Baru?

14 Jul 2025

Pada Senin (1/7), nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat resmi menembus angka Rp16.400 per USD di pasar spot. Ini merupakan level terlemah sejak krisis moneter 1998. Anjloknya nilai tukar ini bukan hanya menjadi perhatian para pelaku pasar dan ekonom, tetapi juga menimbulkan keresahan nyata di tengah masyarakat luas. 

Melemahnya rupiah secara langsung berpengaruh pada harga barang impor, bahan baku, dan produk kebutuhan pokok lainnya. Di sisi lain, pendapatan mayoritas masyarakat—khususnya di sektor informal dan UMKM—tidak mengalami kenaikan signifikan dalam dua tahun terakhir. 

Menurut laporan Bank Indonesia, tekanan terhadap rupiah disebabkan oleh penguatan dolar AS akibat kenaikan suku bunga The Fed serta meningkatnya ketegangan geopolitik global. Namun, dari sisi domestik, defisit transaksi berjalan dan tingginya ketergantungan terhadap impor turut memperparah tekanan ini. 

Pemerintah Akui Ada Tekanan, Tapi Klaim Situasi Masih Terkendali 

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa pemerintah menyadari pelemahan rupiah akan berdampak pada harga barang konsumsi tertentu. Namun, ia menegaskan bahwa fondasi ekonomi Indonesia tetap kuat, dengan APBN yang sehat dan inflasi yang terkendali. 

“Pemerintah terus menjaga daya beli masyarakat melalui belanja perlindungan sosial, subsidi energi, dan kebijakan fiskal yang antisipatif,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita edisi Juni 2025. 

Di sisi lain, Bank Indonesia kembali menaikkan suku bunga acuan menjadi 6,50%, sebagai bentuk stabilisasi nilai tukar. Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut bahwa langkah ini perlu diambil untuk meredam gejolak pasar dan menjaga inflasi dalam sasaran 2,5% ± 1%. 

Harga Barang Naik, Gaji Tak Bergerak 

Sejak awal tahun, masyarakat mengeluhkan kenaikan harga kebutuhan pokok seperti beras, cabai, minyak goreng, dan daging ayam. Berdasarkan data BPS per Juni 2025, inflasi tahunan mencapai 3,2%, dengan sektor makanan mencatat inflasi tertinggi. 

Kenaikan harga ini diperparah oleh stagnasi pendapatan. Upah minimum regional (UMR) di sebagian besar provinsi tidak mengalami penyesuaian yang memadai, bahkan tidak mengikuti laju inflasi. Di sektor informal, banyak pekerja harian mengaku harus mengurangi konsumsi demi menghemat pengeluaran rumah tangga. 

Fenomena ini menciptakan tekanan ganda: biaya hidup meningkat, namun daya beli masyarakat menurun. Dalam jangka panjang, ini dapat memperlambat pertumbuhan konsumsi rumah tangga, yang selama ini menjadi kontributor utama terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. 

Lalu Bagaimana Antisipasinya? 

Pemerintah telah mengalokasikan dana untuk program perlindungan sosial seperti BLT, bansos pangan, dan subsidi energi. Namun para pengamat menilai bahwa program jangka pendek ini belum menyentuh akar persoalan, yaitu rendahnya pertumbuhan pendapatan dan struktur ekonomi yang belum inklusif. 

Beberapa usulan konkret yang muncul antara lain: 

  • Reformasi sistem pengupahan berbasis produktivitas dan inflasi
  • Penguatan sektor pangan lokal untuk mengurangi impor dan menjaga harga, 
  • Insentif fiskal bagi pelaku usaha kecil agar mampu bertahan di tengah biaya produksi yang meningkat. 

Daya Beli Adalah Jantung Ekonomi 

Pelemahan rupiah bisa dipulihkan lewat instrumen moneter. Tapi daya beli masyarakat tidak bisa diselamatkan hanya dengan statistik dan jargon optimisme. Ketika rakyat tidak mampu membeli kebutuhan dasar, maka pertumbuhan ekonomi sebesar apa pun tak akan bermakna di level akar rumput. 

Pemerintah dan otoritas moneter kini menghadapi tantangan besar: bukan hanya menstabilkan kurs, tapi memastikan bahwa setiap rumah tangga Indonesia tetap bisa hidup layak di tengah tekanan ekonomi.

Tantangan bagi Bisnis di Tengah Krisis Ekonomi
Di tengah ketidakpastian ekonomi ini, perusahaan-perusahaan di Indonesia perlu beradaptasi agar tetap dapat bertahan dan berkembang. Transformasi digital bukan hanya solusi untuk meningkatkan efisiensi, tetapi juga untuk memberikan fleksibilitas dalam menghadapi perubahan pasar yang cepat. Dengan sistem yang terintegrasi, perusahaan dapat mengoptimalkan operasional, mengurangi biaya, dan memberikan nilai lebih bagi pelanggan, meskipun dalam kondisi ekonomi yang menantang.

Mulai Transformasi Digital Bisnis
Di TMS Consulting, kami percaya bahwa digitalisasi adalah kunci untuk mengatasi tantangan ekonomi dan memaksimalkan potensi perusahaan Anda. Dengan solusi teknologi yang tepat, Anda bisa mencapai efisiensi yang lebih tinggi dan meningkatkan daya saing di pasar global. Jangan biarkan ketidakpastian ekonomi menghentikan langkah bisnis Anda—hubungi kami untuk mengetahui bagaimana solusi digital dapat membantu bisnis Anda berkembang di masa depan. 

Sources 

Badan Pusat Statistik. (2025, Juli 1). Berita Resmi Statistik: Indeks Harga Konsumen/Inflasi Juni 2025. Retrieved from https://www.bps.go.id 
Bank Indonesia. (2025, Juni 20). Rapat Dewan Gubernur Juni 2025: BI Naikkan BI-Rate Menjadi 6.50%. Retrieved from https://www.bi.go.id 
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2025, Juni 25). APBN Kita Edisi Juni 2025. Retrieved from https://www.kemenkeu.go.id 
Kompas.com. (2025, Juli 2). Faisal Basri: Situasi Ekonomi Belum Krisis, Tapi Sangat Mengkhawatirkan. Retrieved from https://www.kompas.com 

Related Blogs